Identitas Buku
Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Tahun : 2014
Isi : 544 halaman
Novel “Rindu” adalah buku ke-20 dari TereLiye, sejak buku perdananya yang
berjudul “Rembulan Tenggelam di Wajahmu”. Novel ini telah dicetak lebih dari 10
kali sejak terbit perdana di bulan Oktober tahun 2014.
Banyak sekali pesan yang saya tangkap dalam novel ini. Saya pun sempat
berpikir sepertinya ini TereLiye bermula ingin menuliskan buku motivasi atau
ceramah agama Islam. Dan disini saya ingin sedikit mengulas beberapa pesan
tersebut menjadi 2 kelompok pesan. Pertama pesan eksplisit, dan kedua pesan
implisit.
Pesan Eksplisit
TereLiye sudah membocorkan isi novel ini sejak di bab satu. –Ini kisah
tentang perjalanan. Dan sebagaimana lazimnya sebuah perjalanan, selalu disertai
dengan pertanyaan-pertanyaan –(hal.2).
Pernyataan itu jelas menginformasikan inti novel, meskipun pasca
pernyataan itu ada tanda tanya besar dalam pikran pembaca.
Pesan eksplisit tersebut ada pada 5 pertanyaan dan 5 jawaban yang
langsung menyertainya. Ini dia inti kisah novel “Rindu” ini.
1. –Pahami tiga hal itu, Nak, semoga hati kau menadi lebih tenang.
Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain,
dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin.–(hal.315).
Jawaban itu disampaikan oleh Gurutta Ahmad Karaeng. Salah satu tokoh
utama dalam novel ini. Berperan sebagai ulama besar berusia 75 tahun yang dapat
merangkul seluruh lapisan masyarakat, khususnya warga penduduk Kapal Blitar
Holland. Kapal haji yang berlayar selama 30 hari dari Pelabuhan Makassar hingga
Pelabuhan Jeddah.
Jawaban itu menjawab atas pertanyaan Bonda Upe, seorang keturunan Cina
berusia 40 tahun yang bersuka-rela menjadi guru ngaji selama kapal berlayar,
namun memiliki masa muda yang kelam. Ling ling, nama yang ia pakai ketika
menjadi pelacur selama lebih dari 15 tahun.
2. –Pikirkanlah tiga hal tadi, Nak. Berhenti membenci ayahmu, karena kau
sedang membenci diri sendiri. Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian
dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh coretan keliru, bukalah lembaran
baru. Semoga kau memiliki lampu kecil di hatimu.–(hal.376).
Jawaban itu kembali disampaikan oleh Gurutta, menjawab pertanyaan dari kisah
memilukan Daeng Andipati. Seorang pengusaha kaya raya,tokoh terpandang di
Makassar, memiliki istri cantik dan dua anak yang bahagia. Namun ia tidak
pernah merasakan menjadi orang bahagia seperti yang orang lain lihat. Karena ia
dendam dan membenci ayah kandungnya sendiri.
3. –Maka akan kusimpulkan kembali Kang Mas. Yang pertama, yakinilah
kematian Mbah Putri adalah takdir Allah yang terbaik. Yang kedua, biarkan waktu
mengobati semua kesedihan. Yang ketiga, lihatlah penjelasan ini dari kacamata
yang berbeda. Semoga tiga hal itu bisa Kang Mas pikirkan, dan membantu
menghibur penat di dalam hati.” –(hal.473).
Jawaban itu kembali disampaikan oleh Gurutta, menjawab pertanyaan dari
kesedihan hati Mbah Kakung. Seorang kakek berusia 80 tahun yang berencana akan
menunaikan ibadah haji bersama kekasih hatinya, Mbah Putri. Namun kehendak
Allah SWT lebih dahulu menjemput Mbah Putri sebelum tiba di tanah suci,
tepatnya di tengah Samudera Hindia. Takdir-Nya tersebut yang menggelisahkan
hati Mbah Kakung hingga tidak nafsu makan.
4. –Sekali kau bisa mengendalikan
harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apapun wujud kehilangan, kau akan
siap menghadapinya, Ambo. Kau siap menghadapi kenyataan apa pun. Jikapun kau
akhirnya tidak memiliki gadis itu, besok lusa kau akan memperoleh pengganti yang
lebih baik. –(hal.493).
Jawaban itu lagi-lagi disampaikan oleh Gurutta, menjawab cerita patah-hatinya
Ambo Uleng. Patah hati yang hampir saja berujung maut.
5. –Gurutta, aku masih ingat ceramah Gurutta beberapa hari lalu di masjid
kapal. Lawanlah kemungkaran dengan tiga hal. Dengan tanganmu, tebaskan pedang
penuh gagah berani. Dengan lisanmu, sampaikan dengan perkasa. Atau dengan benci
di dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya iman.–(hal.532).
Jawaban terakhir ini disampaikan oleh Ambo Uleng, seorang kelas pendiam
yang sedang kembali belajar cara sholat. Ditujukan untuk seorang ulama besar
yang masih memiliki tanda tanya besar dalam hatinya, Gurutta.
Pesan Implisit.
Pertama. Seperti dalam novel TereLiye yang lain, Hafalan Sholat Delisa
dan Serial Anak Mamak. Novel ini juga ingin menyampaikan pesan tentang dunia
pendidikan anak.
Selama 30 hari perjalanan kapal haji, anak-anak tetap mendapatkan hak
belajarnya. Dengan memanfaatkan satu ruang rapat dan tenaga sukarela dari dua
tokoh, suasana belajar dirasa menyenangkan meskipun tanpa ada pembagian
kelompok usia.
Belajar juga sering diadakan di luar kelas. Di pelabuhan Lampung,
anak-anak belajar tenang hasil bumi sambil menyaksikan proses bongkar muat
batubara. Di pelabuhan Bengkulu, anak-anak belajar di hamparan pantai pasir
putih. Bagian dalam kapal pun menjadi
sarana belajar anak-anak. Di dapur, anak-anak belajar bahwa ada banyak kelasi
yang setiap hari bekerja untuk menjamin isi perut seluruh penumpang kapal. Di
ruang mesin, anak-anak belajar tentang bagaimana kerja mesin uap yang
menjalankan kapal ini.
Kedua. Novel yang berlatar-belakang di penghujung tahun 1938 ini tentuk
tak luput dari pesan patriotisme dan semangat kemerdekaan Indonesia. Tragedi penangkapan
Gurutta oleh Sergeant Lucas, pimpinan serdadu Belanda, merupakan klimaks dari
pesan kemerdekaan yang ingin disampaikan TereLiye dalam novel ini. Gurutta
ditangkap karena buku yang selesai ditulis selama perjalanan berangkat haji
berjudul “KEMERDEKAAN ADALAH HAK SEGALA BANGSA”.
Ketiga. Novel ini dapat dikatakan sebagai novel sejarah. TereLiye begitu
rajin dan berbaik hati memberikan sentuhan pengetahuan sejarah dari kota-kota
pelabuhan di Indonesia. Mulai dari sejarah kota Makassar, Surabaya, Semarang,
Batavia, Lampung, Bengkulu, hingga Banda Aceh.
Mengapa saya membaca “Rindu”?
Karena dengan karya-karyanya, TereLiye selalu berhasil membuat penasaran
para pembaca seperti saya. Setiap judul buku yang baru saja diterbikan selalu
menerbitkan tanda tanya dalam pikiran saya, “Kali ini TereLiye mau cerita
tentang apa ya?”.
Menurut hemat saya, TereLiye adalah seorang penulis yang sedang mencoba
berbagai genre fiksi. Namun tetap dikemas dengan gayanya yang khas. Meski tetap
didominasi novel ber-genre inspirasi, genre roman dan fantasi juga tak kalah
seru. Seperti novel “Sunset bersama Rosie”, dan yang baru-baru ini serial “Bumi”,
“Bulan”,”Matahari”. Gaya fantasinya menyerupai serial “Tunnels”, ada sentuhan
ilmiah dalam setiap fantasi yang disajikan. Dan yang pasti tetap sarat makna dan
pesan.
Nice sharing Wita. Jadi pengen baca novel-novelnya Tere Liye yang lain ya.
BalasHapusAlhamdulillah...
BalasHapus