Jumat, 01 Desember 2017

Kerajaan Nanugar (episode-1)



KERAJAAN NANUGAR

Assalamualaikum.
Hai, Perkenalkan namaku Ifa. Aku seorang petualang cilik. Mengunjungi sebanyak-sebanyaknya kerajaan binatang, berkenalan dengan sang raja, dan menelusuri seluruh wilayah kerajaan, itu semua adalah impianku.
Hingga usiaku sekarang empat tahun, Ayah sudah mengajakku bertualang ke 5 kerajaan binatang. Wow, dimanakah itu semua? Aku tak sabar ingin menceritakan kisah petualanganku kepada teman-teman semua.

Kerajaan Nanugar adalah kerajaan pertama yang aku kunjungi. Satu hari menjelang keberangkatan, Ayah menunjukkan sesuatu padaku. Lembaran kertas besar berwarna coklat muda. Di dalamnya terdapat beragam bentuk yang berwarna warni. Di dalam bentuk itu nampak garis berwarna hitam yang saling bertemu dan garis berwarna biru yang berkelok-kelok. Ada juga bentuk kotak yang berderet-deret dan juga pepohonan hijau yang berkerumun.
Pandanganku terhenti pada satu area kecil berbentuk lingkaran. Didalamnya ada gambar monyet besar. Aku segera menarik lengan ayah dan menunjukkan gambar monyet tersebut.
“Ya, betul sekali anak cerdas,” Ayah mengusap kepalaku.
“Kesini tujuan petualangan kita besok.  Kerajaan Nanugar, nama tempat itu.”

Mendengar namanya dadaku langsung berdegup, tak sabar menanti hari esok.
“Ayah, apa di dalam Kerajaan Nanugar hanya ada monyet?”
“Tentu saja tidak. Di dalam kerajaan binatang pastinya banyak binatang yang tinggal di dalamnya.”
“Tapi kenapa di gambar ini hanya ada gambar monyet?” Aku masih mengamati isi lembaran kertas besar itu.
“Ooo itu. Ayah juga tidak tahu kenapa. Besok kita cari sendiri jawabannya ya. Ayo, sekarang Ifa segera tidur, supaya besok bisa bangun pagi dan badan segar.” Ayah melipat kembali lembaran itu. Dan aku pun segera mengikuti saran Ayah, meskipun dalam mata yang terpejam aku masih membayangkan sosok monyet dalam lembaran tadi.

*

Hari yang dinanti-nanti sejak sebulan yang lalu akhirnya tiba. Jam enam pagi, aku sudah mandi dan berpakaian rapi. Ibu sudah menyiapkan seluruh perbekalan dalam dua tas. Satu tas kecil berisi minuman dan snack, ini tas yang akan kubawa. Satu tas lagi berukuran lebih besar, berisi perbekalan makan siang, tikar lipat, dan baju cadangan. Jelas Ayah yang akan menggendong tas besar ini.
Sarapan sudah kuhabiskan, dan saatnya aku bersiap diri. Tas kecil sudah menggantung di pundak, topi di atas kepala, dan tak lupa memakai sepatu yang nyaman. Aku sudah siap menjadi petualang, tak sabar ingin segera berangkat.
Ayah kembali memastikan isi dalam tas besar, lalu bersiap diri.
“Let’s Go. Kita berangkat.”

Senyumku terkembang sempurna menyambut uluran tangan ayah. Tangan kecilku sudah terkunci dalam tangan besarnya. Kami pun berangkat, lalu menunggu mobil berwarna merah yang akan membawa kami ke Kerajaan Nanugar.
Hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar dua puluh menit, aku dan ayah sudah tiba di depan pintu gerbang kerajaan. Hatiku kembali berdegup, membayangkan akan bertemu si monyet yang semalam sempat datang dalam mimpiku.

Memasuki pintu gerbang, aku segera disambut oleh sekumpulan burung besar. Berjumlah lebih dari dua puluh ekor, bulunya putih, mulutnya besar, dan yang membuatku tertarik mendekatinya yaitu mereka senang bermain di air dan bisa berenang.   
“Apa Ifa tahu itu namanya burung apa?”
Pertanyaan ayah begitu tiba-tiba dan jelas mengagetkanku.
“Namanya apa ayah?, mereka burung yang besar sekali ya?” Aku menanggapi pertanyaan ayah dengan kembali bertanya dan tanpa mengalihkan pandanganku dari burung-burung besar itu.
“Itu namanya burung pelikan. Burung pelikan termasuk jenis burung besar, dan juga disebut burung air karena tempat tinggal asalnya di daerah pantai.”

Mereka tentu rindu dengan rumahnya. Kerajaan ini berada jauh sekali dari pantai. Aku mengamati mereka yang sedang berebut bermain air dalam kolam yang kecil.
“Hai, burung pelikan!” Aku memanggil seekor burung pelikan yang sedang berdiri sendiri di tepi kolam, tak jauh dari tempatku berdiri.
Burung itu hanya memutar lehernya dan menatap ke arahku.
“Ayo, kesini!” Tanganku melambai, mengajak si burung agar mendekat. Namun si burung tetap tak bergerak, hanya matanya yang terus menatapku.
Aku mencoba untuk mendekatinya.
Sebelum langkah kakiku berhenti sempurna, mulut si burung terbuka lebar. Seluruh kepala hingga separuh lehernya masuk ke dalam kolam. Tak lama, kepala si burung mucul kembali dan berdiri tegak.  Mulutnya bergerak seperti sedang komat-kamit, air berceceran dari mulut besarnya. Lantas seketika mulut itu terdiam.

“Tak ada lagi ikan di dalam kolam ini.” Kepalanya tertunduk menatap air. Terlihat jelas wajah sedihnya dari pantulan bayangan si burung di permukaan air.

“Burung pelikan! Kau sedang lapar?”
Lehernya kembali berputar menatapku.
“Tapi aku tidak suka jika kau melempari kami dengan sisa makananmu.”
“Oh tentu tidak! Aku tidak akan melemparimu. Apa kau benar sedang lapar?”
Aku perlahan semakin mendekatinya.
“Iya, sejak semalam kolam ini kosong, tidak ada ikan atau kepiting di dalamnya. Sepertinya raja lupa tidak mengirimkan pasokan ikan ke kolam kami.”
“Kasihan, aku tidak punya ikan atau kepiting. Apa kau suka roti?”
Aku membuka tas kecilku. Si burung tak menjawab.
“Apa kau suka kacang?”
Tetap tak ada jawaban dari si mulut besar.
“Tenang, aku tak akan melempar makanan-makanan ini. Aku akan simpan beberapa roti dan kacang di sini. Jika kau mau silakan dihabiskan.”
Aku meletakkan tiga potong roti dan sebungkus kacang di dekat kakinya.
Aku hendak pergi meninggalkannya, tapi aku teringat satu hal.

“Oh ya, tadi kau menyebut tentang raja. Siapa raja di kerajaan ini?’
Si burung kembali menatapku, “Dia adalah monyet bersuara lantang. Jangan sampai kau melewatkan tidak berjumpa dengannya.”
Tiba-tiba aku teringat dengan mimpiku semalam. “Baik, akan selalu kuingat pesanmu. Sampai Jumpa!”

Aku kembali menyusuri jalanan kerajaan ini bersama ayah. Meski cuaca sedang cerah dan cukup terik, namun aku tak terlalu merasa kepanasan. Di sepanjang kedua tepi jalan ini berdiri pohon-pohon besar dan rindang. Ranting-ranting pohon saling bertemu di atas jalan ini, sehingga keteduhan menaungi perjalanan kami. Aku masih penuh semangat berjalan kaki.

“Sebentar lagi, kita akan memasuki kampung rusa.” Ayah menunjuk sebuah papan nama penunjuk jalan.
Tangan besar ayah segera kutarik. Aku tak sabar menuju gerbang kampung rusa itu.
“Ayo ayah cepat!” Aku kesulitan menarik ayah untuk mempercepat langkah kakinya. Sedangkan ayah justru tertawa.
“Kenapa ayah tertawa? Ayo ayah segera!” Aku masih berusaha sekuat tenaga menarik tangan ayah. Tapi ayah justru tertawa dan memperlambat langkahnya.
“Karena Ifa selalu begini kalau sudah punya kemauan. Tunggu dulu, ayah mau bertanya.”
Ayah menghentikan langkahnya, menahan erat tanganku, lalu berjongkok. Dan kedua matanya telah berada tepat di depan kedua mataku, berjarak sepanjang tangan ayah. Langkah kakiku pun terhenti. Ayah ingin bicara serius.

“Apa Ifa tahu hewan apa rusa itu?”

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar