KERAJAAN NANUGAR
(Episode 2)
“Apa Ifa tahu hewan apa
rusa itu?”
“Hewan yang punya tanduk
panjang!” Setengah berteriak aku menjawab
“Betul. Tapi tidak semua
rusa bertanduk. Rusa itu memiliki pendengaran yang tajam,”
“Tajam kenapa?, memangnya
pisau?”
“Apa Ifa dengar rusa di
dalam sana sedang apa?”
“Tidak lah!”
“Nah, rusa di dalam sana
dapat mendengar teriakan Ifa disini. Dan sekarang, karena kita akan memasuki
kampung mereka, jadi jaga sikap dan bicara kita. Berjalan yang baik, menyapa
mereka, memberikan senyuman dan tidak mengganggu mereka yang sedang tidur.”
Aku terdiam, masih
memikirkan kata-kata ayah.
“Siapa yang siap berkunjung
ke kampung rusa?” Ayah sudah berdiri dan berjalan di depanku.
“Aku!!! Eh Aku.” Volume
suara kurendahkan. Ingat kata ayah tadi. Segera aku berjalan menyusul ayah.
Gapura kampung berdiri
megah menjulang tinggi. Sebuah tanduk rusa terpasang di kedua tiang gapura. Ada
sebuah tulisan terukir di salah satu tiang dengan corak warna seperti kulit
rusa. Kupikir, itu tulisan RUSA.
Perlahan aku mendorong
pintu gapura. Kuucapkan salam. Sekumpulan anak rusa yang sedang bermain
seketika menatapku. Aku mulai paham kata ayah tadi. Meskipun mereka berada
cukup jauh dariku namun mereka mendengar ucapan salamku.
Aku membalas tatapan mereka
dengan senyum terkembang di wajahku. Tapi tak kusangka, mereka justru berlarian
masuk ke rumah. Seperti jamur raksasa dengan pagar mengelilinginya.
Kumpulan anak rusa itu
berada di tengah rumah. Aku melihatnya dari luar pagar. Sekali lagi kuucapkan
salam.
“Assalamu’alaikum. Hai, aku
Ifa. Sedang apa kalian di dalam rumah? Tadi aku lihat kalian sedang bermain
diluar.”
Mereka tetap berdiri dan
tak bergeming. Aku ingat dengan bekal makananku di tas, mungkin saja mereka
sedang lapar seperti si pelikan tadi. Aku mengambil sepotong roti dari dalam
tas.
“Hai, aku punya roti.
Kalian mau?” Tanganku masuk melalui celah pagar. Sepotong roti tergenggam di
tangan.
Seekor anak rusa bergerak.
“Kamu tidak melempar roti
itu?” Si anak rusa tadi menjadi juru bicara bagi kawanannya.
“Tentu tidak! Ini makanan,
tidak boleh dilempar. Kalian mau? Ayo kesini!” Aku senang akhirnya mereka
menghiraukanku.
Si anak rusa itu berjalan
perlahan mendekatiku.
“Kenapa kamu tidak
melemparkan roti itu? Seperti teman-temanmu yang lain,”
“Tadi sudah kujawab. Ini
makanan dan tidak boleh melempar makanan. Begitu kata ayahku. Ayo keluar, aku
ingin melihat kalian bermain di luar seperti tadi sebelum aku masuk.” Aku
bersemangat membujuk mereka.
Aku kembali membuka tas,
mengambil lima potong roti. Kemudian aku simpan di atas tumpukan ranting pohon
di depan rumah mereka.
Enam ekor anak rusa itu
mulai bergerak ke luar rumah, mengerumuni enam potong roti tadi. Setelah tak
ada sisa lagi roti diatas tumpukan ranting itu, anak-anak rusa pun berlarian
menuju halaman.
Si juru bicara tadi
mendekatiku. “Mohon maaf. Tadi kami sempat menyangka kamu seperti teman-temanmu
yang lain.”
“Maksudmu apa?” Tanganku
perlahan menyentuh tanduknya lalu turun mengelus lehernya.
“Teman-temanmu suka
melempari kami makanan. Kami tidak suka itu.” Kepala si juru bicara tertunduk.
Aku tidak seksama
mendengarkan penjelasannya. Tanganku sibuk meraba tanduknya yang gagah, lalu
merasakan tekstur kulit rusa di bagian leher hingga pundaknya. Kulitnya
berwarna coklat dengan tutul warna putih, seperti macan tutul. Bola matanya
besar dan hitam mengkilap.
Kepala si juru bicara
tiba-tiba berdiri dan moncong hidungnya hampir saja mengenai mulutku. Aku kaget
dan seketika kakiku loncat ke belakang.
“Ayo! Kamu ingin bermain
bersama kami?” Si juru bicara tersenyum, dan berlari menuju kawanannya.
Aku segera mengangguk
mengiyakan, dan berlari menyusulnya.
Sepanjang pagi itu, aku
bermain bersama kawanan anak rusa. Berlarian dan berkejaran. Sesekali mataku
memastikan dimana ayah berada, dan sekarang ayah sedang duduk dibawah jamur
besar –rumah si anak rusa.
Aku langsung menyerah
ketika diajak adu balap lari. Kaki-kaki mereka memang masih kecil dan pendek,
namun sekali melangkah panjangnya mengalahkan langkah kaki ayah.
Mereka lalu mengajakku ke
aliran sungai kecil tak jauh dari rumah. Mereka begitu kehausan, minum dengan
sangat lahap, hingga seluruh kepala mereka masuk ke dalam air. Aku pun merasa
haus dan lelah.
Nikmat sekali duduk di tepi
sungai kecil ini. Kulipat celana hingga selutut, sepatu kulepas, dan kubenamkan
kaki ini ke dalam air. Dinginnya air sungai ini.
Anak-anak rusa sedang
bermain di tengah sungai. Mereka mengajakku untuk bermain air. Aku menggeleng
perlahan. Nanti ayah marah, pikirku.
Aku masih betahan duduk di
tepi sungai ini. Sesekali mengamati permainan kawanan anak rusa di tengah
sungai. Mereka sedang berlomba membenamkan kepala ke dalam air, siapa yang
lebih lama bertahan dia yang menang. Teringat setiap kali berenang, ayah juga
selalu menantang permainan itu.
“Hai! Hai!” Teriakanku
membuat si juru bicara menatapku.
“Apa kalian bisa berenang?”
Si juru bicara mengangguk
mantap, “Tentu saja, sejak kami bisa berjalan kami pun bisa berenang.”
“Ayo! Aku ingin melihat
kalian berenang. Aku juga bisa berenang lho! Begini caraku berenang.”
Tanpa kusadari, aku sudah
berada di tengah sungai. Aku menunjukkan kepada mereka gaya berenangku. Hingga
celana dan bajuku basah kuyup. Beruntung, tas perbekalan aku simpan di tepi
sungai.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar