Sabtu, 02 Desember 2017

Kerajaan Nanugar (episode 2)

KERAJAAN NANUGAR
(Episode 2)

“Apa Ifa tahu hewan apa rusa itu?”
“Hewan yang punya tanduk panjang!” Setengah berteriak aku menjawab
“Betul. Tapi tidak semua rusa bertanduk. Rusa itu memiliki pendengaran yang tajam,”
“Tajam kenapa?, memangnya pisau?”
“Apa Ifa dengar rusa di dalam sana sedang apa?”
“Tidak lah!”
“Nah, rusa di dalam sana dapat mendengar teriakan Ifa disini. Dan sekarang, karena kita akan memasuki kampung mereka, jadi jaga sikap dan bicara kita. Berjalan yang baik, menyapa mereka, memberikan senyuman dan tidak mengganggu mereka yang sedang tidur.”
Aku terdiam, masih memikirkan kata-kata ayah.

“Siapa yang siap berkunjung ke kampung rusa?” Ayah sudah berdiri dan berjalan di depanku.
“Aku!!! Eh Aku.” Volume suara kurendahkan. Ingat kata ayah tadi. Segera aku berjalan menyusul ayah.
Gapura kampung berdiri megah menjulang tinggi. Sebuah tanduk rusa terpasang di kedua tiang gapura. Ada sebuah tulisan terukir di salah satu tiang dengan corak warna seperti kulit rusa. Kupikir, itu tulisan RUSA.

Perlahan aku mendorong pintu gapura. Kuucapkan salam. Sekumpulan anak rusa yang sedang bermain seketika menatapku. Aku mulai paham kata ayah tadi. Meskipun mereka berada cukup jauh dariku namun mereka mendengar ucapan salamku.
Aku membalas tatapan mereka dengan senyum terkembang di wajahku. Tapi tak kusangka, mereka justru berlarian masuk ke rumah. Seperti jamur raksasa dengan pagar mengelilinginya.
Kumpulan anak rusa itu berada di tengah rumah. Aku melihatnya dari luar pagar. Sekali lagi kuucapkan salam.


“Assalamu’alaikum. Hai, aku Ifa. Sedang apa kalian di dalam rumah? Tadi aku lihat kalian sedang bermain diluar.”
Mereka tetap berdiri dan tak bergeming. Aku ingat dengan bekal makananku di tas, mungkin saja mereka sedang lapar seperti si pelikan tadi. Aku mengambil sepotong roti dari dalam tas.
“Hai, aku punya roti. Kalian mau?” Tanganku masuk melalui celah pagar. Sepotong roti tergenggam di tangan.
Seekor anak rusa bergerak.
“Kamu tidak melempar roti itu?” Si anak rusa tadi menjadi juru bicara bagi kawanannya.
“Tentu tidak! Ini makanan, tidak boleh dilempar. Kalian mau? Ayo kesini!” Aku senang akhirnya mereka menghiraukanku.

Si anak rusa itu berjalan perlahan mendekatiku.
“Kenapa kamu tidak melemparkan roti itu? Seperti teman-temanmu yang lain,”
“Tadi sudah kujawab. Ini makanan dan tidak boleh melempar makanan. Begitu kata ayahku. Ayo keluar, aku ingin melihat kalian bermain di luar seperti tadi sebelum aku masuk.” Aku bersemangat membujuk mereka.
Aku kembali membuka tas, mengambil lima potong roti. Kemudian aku simpan di atas tumpukan ranting pohon di depan rumah mereka.
Enam ekor anak rusa itu mulai bergerak ke luar rumah, mengerumuni enam potong roti tadi. Setelah tak ada sisa lagi roti diatas tumpukan ranting itu, anak-anak rusa pun berlarian menuju halaman.

Si juru bicara tadi mendekatiku. “Mohon maaf. Tadi kami sempat menyangka kamu seperti teman-temanmu yang lain.”
“Maksudmu apa?” Tanganku perlahan menyentuh tanduknya lalu turun mengelus lehernya.
“Teman-temanmu suka melempari kami makanan. Kami tidak suka itu.” Kepala si juru bicara tertunduk.
Aku tidak seksama mendengarkan penjelasannya. Tanganku sibuk meraba tanduknya yang gagah, lalu merasakan tekstur kulit rusa di bagian leher hingga pundaknya. Kulitnya berwarna coklat dengan tutul warna putih, seperti macan tutul. Bola matanya besar dan hitam mengkilap.
Kepala si juru bicara tiba-tiba berdiri dan moncong hidungnya hampir saja mengenai mulutku. Aku kaget dan seketika kakiku loncat ke belakang.
“Ayo! Kamu ingin bermain bersama kami?” Si juru bicara tersenyum, dan berlari menuju kawanannya.
Aku segera mengangguk mengiyakan, dan berlari menyusulnya.

Sepanjang pagi itu, aku bermain bersama kawanan anak rusa. Berlarian dan berkejaran. Sesekali mataku memastikan dimana ayah berada, dan sekarang ayah sedang duduk dibawah jamur besar –rumah si anak rusa.
Aku langsung menyerah ketika diajak adu balap lari. Kaki-kaki mereka memang masih kecil dan pendek, namun sekali melangkah panjangnya mengalahkan langkah kaki ayah.
Mereka lalu mengajakku ke aliran sungai kecil tak jauh dari rumah. Mereka begitu kehausan, minum dengan sangat lahap, hingga seluruh kepala mereka masuk ke dalam air. Aku pun merasa haus dan lelah.

Nikmat sekali duduk di tepi sungai kecil ini. Kulipat celana hingga selutut, sepatu kulepas, dan kubenamkan kaki ini ke dalam air. Dinginnya air sungai ini.
Anak-anak rusa sedang bermain di tengah sungai. Mereka mengajakku untuk bermain air. Aku menggeleng perlahan. Nanti ayah marah, pikirku.
Aku masih betahan duduk di tepi sungai ini. Sesekali mengamati permainan kawanan anak rusa di tengah sungai. Mereka sedang berlomba membenamkan kepala ke dalam air, siapa yang lebih lama bertahan dia yang menang. Teringat setiap kali berenang, ayah juga selalu menantang permainan itu.

“Hai! Hai!” Teriakanku membuat si juru bicara menatapku.
“Apa kalian bisa berenang?”
Si juru bicara mengangguk mantap, “Tentu saja, sejak kami bisa berjalan kami pun bisa berenang.”
“Ayo! Aku ingin melihat kalian berenang. Aku juga bisa berenang lho! Begini caraku berenang.”

Tanpa kusadari, aku sudah berada di tengah sungai. Aku menunjukkan kepada mereka gaya berenangku. Hingga celana dan bajuku basah kuyup. Beruntung, tas perbekalan aku simpan di tepi sungai.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar